Puluhan Masyarakat Sipil Desak RUU Penghapusan Diskriminasi untuk Percepatan Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia
Admin – Jawapers.com
Redaksi
July 24, 2024
Jawapers.com, Jakarta – Rabu, 23 Juli 2024 , Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), YIFoS Indonesia, Inti Muda Indonesia, dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang berjumlah 46 organisasi masyarakat sipil menggelar Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM-39) dengan tema “Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi sebagai Akselerasi dalam Penghapusan Perda Diskriminatif yang Menghambat Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia” di Jakarta Selatan.
Kegiatan ini bertujuan untuk membahas secara mendalam mengenai dampak negatif dari Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif dan upaya akseleratif melalui RUU Penghapusan Diskriminasi.
Salah satu kebijakan diskriminatif yang disoroti dalam diskusi ini adalah Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S.
Selain berdampak pada munculnya konflik vertikal dan horizontal, kebijakan diskriminatif ini dinilai melanggengkan praktik pembatasan hak asasi manusia termasuk hak atas kesehatan. Pada sektor kesehatan, kebijakan diskriminatif yang lahir ini juga akan bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam merespons HIV dan menghambat akses terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama populasi kunci.
Gina Sabrina, Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), menyampaikan bahwa keberadaan Perda merupakan bagian dari upaya otonomi daerah yang diberikan dari Pemerintah Pusat. Namun, kewenangan ini sering disalahartikan oleh Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang bersifat diskriminatif.
Adapun Perda terkait HIV sering kali tersembunyi di balik Perda Ketertiban Umum, Ketentraman dan Ketertiban Sosial, atau bahkan dalam peraturan yang bertujuan untuk penanggulangan HIV itu sendiri.
Misalnya Perda 6/2002 Tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam, Perda Kota Bogor Nomor 10 tahun 2021 tentang P4S, dan lainnya.
Upaya penanggulangan tindakan diskriminatif menemukan jalan berliku misalnya dengan memanfaatkan kelompok rentan (populasi kunci dan ragam SOGIE-SC) dalam kontestasi politik. Gina menambahkan upaya ini menjadi tugas multistakeholder untuk berkolaborasi.
“Menjadi tugas bersama dalam melihat dan memantau Perda Diskriminatif yang berkaitan dengan HIV AIDS, harapannya Organisasi Masyarakat Sipil di level Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat melakukan advokasi lanjutan hingga meninjau muatan dan implementasinya”. Ujar Gina.
Peneliti Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atmajaya, Ignatius Praptoraharjo memaparkan bahwa stigma dan diskriminasi itu dinamis, semakin banyak atribut atau karakteristik yang dimiliki seseorang semakin besar potensi mereka untuk mengalami diskriminasi. Diskriminasi yang dialami individu dapat berubah seiring waktu dan situasi, kemudian hal ini juga tidak selalu bersifat tetap atau konstan.
Terdapat stigma-stigma yang dapat diantisipasi (anticipated stigma) yang mengacu pada situasi di mana individu yang rentan mengalami stigma seperti Orang dengan HIV (ODHIV).
Berbagai studi tentang anticipated stigma menunjukkan bahwa ketakutan terhadap kemungkinan diskriminasi berdampak signifikan pada akses layanan kesehatan dan kualitas hidup ODHIV.
Vincentius Azvian, perwakilan dari Inti Muda Indonesia; organisasi populasi kunci muda, memaparkan bahwa perda-perda diskriminatif mengakibatkan meningkatnya diskriminasi dan stigma terhadap populasi kunci. Merespons hal ini, bersama YIFoS Indonesia dan 10 organisasi orang muda yang tergabung dalam Indonesia Healthy Cities with PRIDE melakukan berbagai kegiatan untuk mencegah munculnya peraturan-peraturan diskriminatif di berbagai wilayah di Indonesia.
“Kami yakin bahwa RUU ini nantinya dapat mempercepat penanggulangan HIV AIDS di Indonesia”. Kata Vincentius.
Saffah Salisa Azzahro’, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), telah melakukan kajian pendahuluan terkait kondisi aturan diskriminasi dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Menurutnya diskriminasi terjadi karena implementasi penegakan hukum di Indonesia yang buruk.
“Solusinya perbaikan penegakan hukum, misal kalau polisi nggak ada tindak lanjut, kita harus perbaiki polisinya,”. Tegasnya.
Endang Lukitosari, Ketua Tim Kerja HIV/AIDS, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Direktorat P2PM, mengungkapkan bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan HIV harus didukung dalam semua aspek, utamanya dalam aspek hukum. Maka dari itu penting memastikan upaya advokasi dan kampanye pengetahuan yang benar, mensinkronkan secara komprehensif layanan primer, lanjutan, dan penguatan sumber daya manusia dalam penanggulangan HIV di Indonesia.
“Perlu kerja sama dalam menurunkan stigma dan diskriminasi, kalau ada perundangan yang diskriminatif di tingkat lokal perlu menjadi kerja bersama agar hal ini tidak menghambat kerja-kerja dalam penanggulangan HIV di Indonesia”,pungkasnya.
(Yanti)