Jakarta, Jawapers.com – Vox Populi, Vox Dei “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Ungkapan ini sudah tidak berlaku lagi di dunia demokrasi Indonesia belakangan ini. Semboyan kesetaraan suara dalam menyampaikan pendapat sudah lama hilang di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Negeri yang dipimpin dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sudah bermutasi menjadi dari rakyat jadi penguasa dan untuk kepentingan dinasti oligarki. Tidaklah heran, jika kondisi politik yang terjadi di Indonesia saat ini digambarkan oleh media asing sebagai rezim penguasa-pengusaha (oligarki-red) yang mendukung lahirnya Nepo Baby (bayi nepotisme) pada pesta demokrasi 2024 nanti.
Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasional Corruption Watch (NCW) kembali menggelar konfrensi pers di Kantor DPP NCW yang berada di bilangan Pancoran Jakarta Selatan, Jumat (29/12/2023).
“Kepentingan rakyat saat ini tidaklah menjadi fokus utama bagi penguasa negeri ini, rezim yang berkuasa dan kroni-kroninya lebih mengutamakan langgengnya kekuasaan mereka dibandingkan mengurus rakyat miskin dan pengangguran yang semakin meningkat,” kata Hanif Ketua Umum DPP NCW.
Berulang kali DPP NCW menyoroti ketidakpedulian pemerintah yang berkuasa saat ini terhadap tingginya angka pengangguran, kemiskinan, kelaparan, hukum yang tebang pilih, investasi yang tidak terarah, pajak yang memberatkan rakyat, korupsi merajalela dan hilangnya etika dalam
berpolitik belakangan ini.
NCW menyoroti, rakyat sudah mulai apatis dengan sikap pemerintah Jokowi yang sudah tidak merakyat dan cenderung fokus kepada suksesi anaknya Gibran, dengan tujuan kesalahan-kesalahan yang terjadi selama periode pemerintahannya dapat ditutupi nantinya jika paslon Prabowo-Gibran menang di pemilu 2024 nanti.
“Sudah tidak ada sense of belonging Jokowi ini, rakyat seperti ditelantarkan memikirkan nasib mereka masing-masing. Sudah tidak selaras dengan nawacita agenda politik Jokowi saat ini,” lanjut Hanif.
Keberlangsungan investasi di IKN dan berbagai proyek strategis nasional (PSN), saat ini seperti berada di pinggir jurang yang sewaktu-waktu bisa terjun bebas dan dikhawatirkan akan membebani APBN dan kekurangan negara nantinya.
Dari sekian banyak PSN yang sedang berjalan saat ini, ada beberapa yang tidak berjalan dengan baik karena masih bermasalah dengan pembebasan lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat atau korporasi. Masalah pembebasan lahan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi pemerintah dan rakyat yang lahannya masuk dalam master plan PSN.
“Rakyat jika digusur atau direlokasi mesti diperhatikan nasib mereka dan sumber penghidupan mereka, jangan sampai abai pemerintah dengan benturan rakyat dengan pengusaha atau kontraktor yang ditunjuk menjalankan proyek PSN. Pemerintah harus hadir, bukan jadi penonton di pinggir lapangan atau malah membuat aturan baru yang bisa merampas hak-hak rakyat,” ujar Hanif menjelaskan.
Jumat, 8 Desember 2023, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Produk regulasi sesat pikir tersebut diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.
Perpres tersebut secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Regulasi terkait dampak sosial penyediaan tanah pembangunan nasional bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. Pada
perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan
proyek-proyek selain PSN.
“Kami di NCW mensinyalir Perpres 78/2023 ini ada kaitannya dengan proyek PSN dan proyek lainnya yang sedang berjalan saat ini, dan diduga kuat berkaitan dengan kepentingan proyek-proyek oligarki yang didukung oleh rezim saat ini,” ungkap Hanif.
Sekitar 2 (dua) bulan lalu, DPP NCW mengecam tindakan oknum menteri
Investasi Bahlil Lahadalia yang secara tidak berprikemanusian memaksa rakyat pulau Rempang untuk direlokasi demi kepentingan investor asing dari Tiongkok, Xin Yi Glass Holding Limited. Proyek Eco City Rempang
yang dikatakan akan menggiring investasi senilai Rp 175 Triliun, mengabaikan hak-hak dasar masyarakat pulau Rempang yang sudah hidup dan mendiami daerah tersebut puluhan tahun, bahkan ada yang sudah tinggal sejak republik Indonesia ini belum merdeka.
“Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, bahkan sekelas investor abal-abal seperti Xin Yi ini, Bahlil bisa mengusir rakyat pulau Rempang pindah dari tanah kelahiran mereka. Ini kami sengaja mengundang Bung Yanto, pemilik Kawasan Industri Sadai, Bangka Selatan untuk menyampaikan kesaksiannya terkait gagalnya investasi Xin Yi sebesar US$6-7 miliar,” kata Hanif.
Dari data yang NCW dapatkan, sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$6-7 miliar untuk investasinya menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa Bangka Belitung, rencana investasi ini disampaikan Cheng Gang kepada Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin, Rabu (23/11/2022) di Pangkalpinang.
“Hingga saat ini tidak ada kepastian keberlanjutan investasi Xin Yi di kawasan industri Sadai. Padahal kontrak sudah ditanda tangani pihak kami dan Xin Yi,” jelas Yanto di Kantor DPP NCW.
Tidak hanya di kawasan industri Sadai, Xinyi Glass juga berkomitmen investasi di Gresik bernilai US$ 700 juta. Mereka masuk dengan
menggaet mitra lokal PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) untuk membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca. Berdasarkan Perjanjian tersebut, BKMS telah setuju untuk menjual lahan dan Xinyi telah setuju untuk membeli lahan yang luas dalam rangka pembangunan pabrik produksi Kaca Xinyi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE (KEK JIIPE). Namun progres investasi ini tidak jelas ujungnya, hal
ini diduga karena rendahnya kemampuan keuangan Xinyi.
Kekuasaan yang berlebihan rezim Jokowi dan kroni-kroninya ini memperlihatkan bahwa korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sudah
sangat merajalela di negeri ini. Pelanggaran konstitusi terjadi berkali-kali, rakyat yang memperjuangkan haknya malah sering diintimidasi, para aktivis dan budayawan beropini direpresi, pemilik media dan jurnalis diintervensi, kebebasan pers dibungkam dan aktivis mahasiswa berorasi berakhir dengan kriminalisasi, dan terakhir kebebasan berpendapat dan berpolitik yang dilindungi oleh undang-undang juga dikebiri oleh sosok Pak Lurah yang sudah menjadi bagian dari oligarki.
“Inilah contoh gagalnya Jokowi mengawal demokrasi dan menjaga etika para pembantunya dalam menjalankan kabinet Indonesia Maju. Rakyat dipertontonkan kebobrokan rezim berkuasa pada menit-menit terakhir masa pemerintahan Jokowi ini. Sila Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab sudah tidak menjadi alat pandu dalam menjalankan roda pemerintahan Jokowi,” pungkas Hanif.